“Engkau tahu gunjingan orang seputar istri Rasulullah?” tanya Abu Ayyub al Anshari kepada istrinya.
“Ya, dan semua itu dusta besar,” sahut istrinya tegas.
“Engkau sendiri, mungkinkah melakukan hal seperti itu?” desak Abu Ayyub.
“Tak mungkin aku melakukannya, demi Allah.”
“Dan Aisyah, demi Allah jauh lebih baik dari engkau,” sahut Abu Ayyub.
Dialog itu turut mewarnai suasana tegang di Madinah. Hari-hari itu Rasulullah tengah menghadapi beban berat. Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri tercinta beliau, diisukan berbuat serong dengan Shofwan bin Mu’athol.
Kisahnya
bermula dari peristiwa perang Bani Musthaliq. Menjelang keberangkatan
ke Bani Musthaliq, bulan Sya’ban tahun 5 hijriyah, seperti biasa
Rasulullah SAW mengundi siapa istrinya yang diajak serta berperang. Hari
itu, Aisyah dapat undian untuk menemani Rasulullah. Biasanya bila
bepergian, Aisyah yang berbadan kurus itu naik ke atas sekedup (semacam
tenda kecil) yang diletakkan di punggung unta.
Sepulang
dari Bani Musthaliq, di sebuah tempat yang hampir dekat dengan Madinah,
Rasulullah dan kaum muslimin menginap beberapa malam. Hingga suatu hari
Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk meneruskan perjalanan. Saat
itu, usai buang hajat, Aisyah kehilangan kalung permata Yaman. Sayang,
benda berharga itu tak ia temukan. Ia mencoba mencari lagi dan akhirnya
ketemu. Namun, begitu kembali ke tempat singgah pasukan Islam, ia sudah
tertinggal rombongan. Mereka yang mengangkat sekedup ke punggung unta
tak tahu bahwa di dalamnya tak ada Aisyah.
Aisyah
lantas menyelimuti dirinya dengan jilbabnya. Ia
berharap mereka akan kembali bila tahu dirinya tertinggal. Tak berapa
lama, lewatlah Shofwan bin Mu’athol, menunggang unta. Ia tertinggal
kafilah kaum muslimin karena suatu keperluan. Shofwan terkaget-kaget. Ia
tahu bahwa itu Aisyah, sebab sebelum turun ayat yang mewajibkan
pemakaian jilbab, Shofwan telah mengenali Aisyah.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, istri Rasulullah di sini? Apa yang menyebabkan engkau tertinggal?” ucap Shofwan spontan.
Tak
sepatah kata pun diucapkan Aisyah. Shofwan segera menundukkan untanya.
Aisyah pun naik dan Shofwan menuntun unta itu. Doa orang itu tak bisa
menyusul rombongan kaum muslimin, hingga tiba di Madinah.
Kehadiran
keduanya menjadi makanan empuk gembong munafik Abdullah bin Ubay bin
Salul. Segera saja ia melempar isu, bahwa istri seorang Nabi telah
berbuat serong. Berita dusta itu menjalar bak api melahap padang ilalang
kering. Beberapa orang termakan isu. Hamnah bin Jahsy (saudara kandung
Zainab binti Jahzy, istri Rasulullah), Misthah (pembantu Abu Bakar), dan
Hassan bin Tsabit turut memperkeruh suasana. Nyata mereka terlihat berdua.
Suasana
makin panas. Aisyah sendiri jatuh sakit sepulang dari perjalanan itu.
Tragisnya, Aisyah tak tahu menahu tentang apa yang terjadi di luar. Ia
tak mengerti bahwa ada peristiwa besar yang menyangkut dirinya, yang
berputar dari mulut satu ke mulut yang lain. Yang dirasakan Aisyah,
hanya Rasulullah sedikit berubah dari biasanya. Kasih lembutnya terasa
kering. Hanya itu.
Sampai
suatu hari Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin di masjid.
Dari atas mimbar ia memuji Allah, lantas menyatakan sikapnya.
"Wahai
sekalian manusia. Kenapa orang-orang itu menyakiti keluargaku? Mereka
berbicara tentang sesuatu yang sama sekali tidak benar. Demi Allah, aku
tidak melihat keluargaku kecuali baik-baik selalu.”
Seorang
sahabat Anshar, Usaid bin Hudhair dari suku Aus, menyela, “Wahai
Rasulullah, bila orang-orang itu dari Aus, kami siap bereskan mereka.
Dan bila mereka dari Khazraj, maka perintahkan kami untuk menyelesaikan
urusan engkau. Demi Allah, mereka itu orang-orang yang layak dipenggal
batang lehernya.”
Mendengar itu, Sa’ad bin Ubadah, yang berdarah Khazraj naik pitam. Ia segera menimpali.
“Demi
Allah, kamu tak akan bicara seperti itu kecuali karena engkau tahu
gembong masalah ini (Abdullah bin Ubay) dari Khazraj. Kalau saja ia dari
kaummu, pasti bicaramu tak seperti itu.”
“Pendusta kamu ini, demi Allah. Kamu hanyalah munafik yang membela munafik,” balas Usaid.
Suasana
kian panas. Beberapa orang nampak berlompatan. Keributan mulai muncul.
Hampir saja orang-orang Aus dan Khazraj saling baku hantam. Rasulullah
segera turun dari mimbar.
***
Hampir
satu bulan masalah ini berjalan tanpa bisa dituntaskan kebenarannya.
Rasulullah mencoba menggali kejujuran Aisyah. Ditemuilah istri
tercintanya yang telah tinggal di rumah orang tuanya, Abu Bakar ash
Shiddiq. Tak ada tegur sapa. Aisyah hanya menangis.
"Wahai
Aisyah. Takutlah engkau kepada Allah. Bila engkau telah telah melangkah
kepada keburukan, bertaubatlah. Sesungguhnya Allah menerima taubat
hamba-hamba-Nya.”
Air
mata Aisyah makin deras. Tak ada kata yang mampu diucapkan. Ia berharap
bapak-ibunya memberi jawaban. Lama ditunggu, keduanya tak juga buka
suara.
"Tidakkah engkau berdua menjawab Rasulullah,” sahut Aisyah lemah sambil memandang kedua orang tuanya.
“Kami sendiri tak mengerti harus menjawab apa,” sahut Abu Bakar.
Masalah terselesaikan ketika Allah menurunkan wahyu, setelah isu provokatif itu bergulir lebih dari sebulan.
***
Ada
banyak pelajaran berharga yang harus kita gali. Pertama, stabilitas
sosial kaum muslimin akan selalu jadi incaran musuh-musuh Islam.
Utamanya kalangan tokoh dan pemimpinnya. Segala cara akan dilakukan
mereka untuk menghancurkan umat Islam. Bisa saja dengan memfitnah secara
keji, tuduhan buta, sampa tindakan kekerasan sekali pun.
Karenanya,
umat Islam - apalagi dalam era global seperti sekarang ini - tak boleh dengan
mudah menelan opini dan isu yang berada di masyarakat. Sumber informasi
harus jelas, dari segi autentitasnya maupun pembawanya (QS. Al Hujurat:
6). Kecerobohan sebagian sahabat yang termakan isu itu telah mengguncang
kehidupan Rasul dan kaum muslimin.
Kedua,
peran supremasi hokum dan ulama sangat penting dalam menjaga stabilitas
sosial umat Islam. Suku Aus dan Khazraj yang nyaris bentrok termakan
provokasi kaum munafik bisa diatasi dengan kebenaran Aisyah yang
ditetapkan melalui wahyu, dengan turunnya ayat 11 surat An Nuur.
Karenanya, melalui tangan para ulama, seharusnya al Quran dan sunah Rasul
didudukkan fungsinya bagi penegakan hukum, khususnya pada saat kita
banyak diterkam isu seperti hari-hari ini.
Ketiga,
komunitas orang-orang yang mampu menahan diri seperti Abu Ayyub dan
istrinya perlu ditumbuh-kembangkan. Di tengah masyarkat kita yang
keropos, kita sangat perlu Usamah bin Zaid yang dengan jujur membela
kebaikan keluarga Rasulullah. Kita butuh Burairah, pelayan Aisyah yang
tahu betul keseharian Aisyah. Yang hanya bisa mengatakan, “Setahuku
Aisyah tak lain seorang wanita yang baik. Aku bikin adonan roti, lalu
aku minta ia menyimpannya. Rupanya ia tertidur di atas adonan itu dan
datanglah kambing memakan adonan itu.”
Komunitas
orang-orang yang bersih itu harus dibesarkan. Agar ada kekuatan yang
bisa menetralisir isu dan opini kotor yang meracuni umat Islam. Sesudah
itu, perlu dipikirkan wadah institusionalnya yang suaranya didengar dan
wibawanya diakui. Hari ini tak akan kita jumpai Nabi baru, tidak juga
wahyu baru.
Tak mungkin kita menunggu surat/ayat pembenaran dan
pembelaan dari langit. Perlu kerja keras untuk menciptakan masyarakat
muslim yang imannya kuat, berakhlak luhur dan anti-provokasi.
Wallhu a’lam bishowab.
sumber:http://kaderisasi.pksjateng.or.id/index.php/read/news/detail/977/Melawan-Provokasi