05/24/13 - )|( PKS Bae Kudus
Headlines News :

Bersikap Dalam Menyikapi Mumtazah

Jumat, 24 Mei 2013 | 14.17



Beberapa hari ini, inbox FB saya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan seputar skandal LHI dengan seorang siswi SMK, Darin Mumtazah. TV One pagi tadi menyiarkan skandal ini secara berulang-ulang. Namun sumbernya, sekali lagi hanya Detik.com. TV nasional ternyata mengandalkan beritanya dari sebuah portal.

Seperti tulisan-tulisan sebelumnya, saya semakin yakin kasus LHI adalah spy trap yang dipasang. Sekali lagi, targetnya bukan memvonis bersalah LHI. Tapi target besarnya adalah: menegasikan apapun yang berbau Islam, terutama Islam Pergerakan dengan dua isu sentral: Gratifikasi Seks dan Terorisme.

Hal pertama, untuk gerakan Islam yang seatle di parlemen dengan jumlah dukungan cukup besar. PKS adalah partai Islam terbesar, mengalahkan PPP dan diprediksi PKS masuk 3 besar di Pemilu 2014. Terlebih sikap menteri-menteri PKS yang teguh memperjuangkan independensi pangan.

Bukankah Mentan menolak kuota impor sapi? Yang sekarang sang Mentan dipinggirkan perannya, ketika 3000 ton daging sapi dibuka kembali?

Hal kedua, terorisme digunakan untuk menjebak aktivis gerakan Islam non parlemen yang bersuara lantang dan NYATA memperjuangkan pemberlakuan syariat.

Alaa kulli haal, menjawab pertanyaan seputar sikap kita menghadapi isu Darin Mumtazah. Maka tulisan Ustadz Abdullah Haidir Riyadh cukup membantu kita:

Ketika saudara kita ter tuduh..

1. Membela kehormatan org yg belum tentu bersalah tentu lebih baik ketimbang mencelanya. Apalagi jika selama ini dikenal sebagai orang baik…

2. Mencela dan memojokkan, baik dengan bahasa lugas atau sindiran, terhadap saudara yg sedang dilanda tuduhan yang belum terbukti adalah indikasi ‘sakitnya hati’

3. Mana yang lebih dekat dengan adab Islam, membela penuduh yang belum dikenal kepribadiannya atau membela ter tuduh yang belum terbukti kesalahannya tapi sudah dikenal kebaikannya?

4. Pesan Nabi Jelas: Penuduh harus mengajukan bukti, ter tuduh cukup bersumpah jika mengingkari… (HR. Baihaqi)

5. Sebab kalau semua tuduhan langsung diterima, orang akan ramai-ramai melakukan tuduhan terhadap harta dan darah suatu kaum… (HR. Baihaqi)

6. Para ulama mengatakan: Keliru menghukumi bahwa seseorang tak bersalah, lebih baik dibanding keliru menghukumi bahwa seseorang bersalah…

7. Aneh aja.. jika mengaku aktivis Islam dan sering mengusung tema persatuan, namun ketika sesama aktivis diserbu berbagai tuduhan yang belum terbukti..

8. Alih2 membela, atau berempati dan mendoakan kebaikan.. Yang ada justru ikut2an memojokkan dengan statement yang kadang lebih menyakitkan dari masyarakat awam…

9. Baik dari adab Islam, atau tinjauan moral, sama sekali tidak mengindikasikan­ ukhuwah yang selama ini menjadi salah satu yang diusungnya..

10. Ukhuwah bukan sekedar jadi judul buku atau seminar…

11. Benarlah ungkapan hikmah yg sering kita dengar… teman yang sejati dapat diketahui saat kita sedang susah…

12. Namun kita tidak perlu mengemis2 pertolongan dengan orang semacam itu. Sebab, kebenaran itu, dg sendirinya akan mendatangkan pendukung….

13. Bergembira apabila mendengar ‘kesalahan’ saudara sebagai sebuah amunisi… lebih berbahaya dibanding kesalahan saudaranya itu sendiri..

14. Sebab yang pertama akan semakin larut dalam maksiat kebenciannya, dan yang kedua akan semakin sadar dg kesalahannya dan lebih besar harapan ==========
======
Saya sangat salut dengan sikap umat Islam, beberapa dari mereka adalah jamaah pengajian yang bukan kader PKS bukan pula simpatisan. Mereka mampu bersikap lebih bijaksana dalam memilih kata-kata dan menyikapi keadaan. Dibandingkan dengan para aktivis dakwah yang katanya mengusung syariah!

Oleh: Nandang Burhanudin

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/23/33713/bersikap-mumtaz-menyikapi-darin-mumtazah/#ixzz2UBwNYDk1

Kritisi “Opini” Majalah Tempo Edisi 20-26 Mei 2013

Ilustrasi. (inet / hdn)


Membaca rubrik opini majalah Tempo edisi 20-26 Mei 2013 dengan judul “Patgulipat partai Dakwah”, langsung terlihat betapa kuatnya keinginan majalah itu dalam menyerang PKS, bahkan bisa dibilang mencoba membunuh karakter PKS yang saban hari belakangan ini  menjadi bulan-bulanan pemberitaan media.

Di rubrik opini itu, Tempo di paragraf pembukanya langsung dengan bahasa menyerang. Tanpa ragu Tempo menulis “Teori tentang Ahmad Fathanah dan PKS adalah cerita tentang politik buruk rupa. Politik yang tak ditujukan untuk kemaslahatan orang ramai, tapi menghamba pada urusan perut dan bawah perut—politik yang terkontaminasi oleh korupsi dan esek-esek.”

Kesan menyerang tak bisa disembunyikan karena dalam paragraf itu Tempo telah berupaya menjadikan sama (identik) antara PKS dan Fathanah. Bagi Tempo yang memang dikenal galak dengan PKS itu,  mungkin perlu membuka-buka lembaran surat kabar atau searching google untuk sekadar melihat begitu banyaknya kerja nyata dan positif PKS di tengah masyarakat. Siapa partai yang selalu hadir melakukan pelayanan kepada warga seperti bakti sosial, pertolongan terhadap korban bencana, bazar sembako murah, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Jika tempo merasa tidak menemukan jawabannya di media mainstream atau di google sekalipun, itu karena memang jarang sekali media besar yang mau meliput kerja-kerja nyata PKS.

Berbeda dengan para pemilik media besar yang jika membacakan pidato saja, media miliknya mau siarkan dengan waktu khusus. Jika begitu, Tempo juga bisa mengutus reporternya untuk turun langsung ke masyarakat, tanya mereka yang tinggal di gang-gang sempit, bantaran kali, perumahan kumuh, siapakah partai yang rutin menyapa mereka dengan berbagai kegiatan positif.

Apakah sekian banyaknya aksi nyata PKS di tengah masyarakat itu harus dilupakan, dan digantikan dengan citra negatif (korupsi dan esek-esek) hanya karena satu orang Fathanah yang memang pada faktanya tak pernah mengaku sebagai kader PKS?

Serangan Tempo itu terus berlanjut dengan mengatakan bahwa sosok Fathanah yang kedapatan ketangkap di kamar hotel bersama seorang perempuan adalah icon aib partai dakwah. Padahal sudah jelas bahwa Fathanah itu bukan siapa-siapa PKS, kader bukan, apalagi petinggi struktural.

Namun kenapa Tempo dengan gampangnya berkata bahwa Fathanah adalah ikon aib PKS. Apakah kurang klarifikasi dari Fathanah sendiri bahwa dia bukan kader PKS? Atau Tempo tak peduli dan hanya mau asyik dengan imajinasi kebenciannya sendiri, karena dalam paragraf selanjutnya Tempo mengatakan dengan analisa terkesan canggih. “Seperti dalam novel spion Melayu, aksi Fathanah disangkal petinggi PKS. Politik amputasi ini terkesan strategis meski sesungguhnya amatiran. Sebab seperti menyembunyikan bangkai, bau busuk duit Fathanah tak bisa dicegah maruap.” Dalam bagian itu Tempo terlihat bergerak lebih jauh. Setelah tidak percaya klarifikasi dari Fathanah bahwa ia bukan kader PKS, ia bahkan berimajinasi bahwa Fathanah adalah sosok yang coba dibuang oleh PKS setelah dimanfaatkan dananya. Hal ini menjadikan kita bingung mana fakta dan mana imajinasi.

Tidak selesai sampai di situ. Bahkan Tempo kemudian menyerang dengan membuka front baru. Pada paragraf selanjutnya bukan lagi dengan sosok Fathanah yang pada awal tulisan rubrik opini sempat menjadi bahan pembahasan utama dan dijadikan identik dengan PKS. Tempo bergerak dengan sosok baru bernama Yudi Setiawan. Entah kenapa Tempo beralih pada sosok baru bernama Yudi Setiawan, mungkin karena sosok ini bisa digunakan untuk menyerang PKS.

Di bagian paragraf rubrik opini selanjutnya Tempo menulis tentang Yudi Setiawan yang dikatakannya memiliki keterkaitan dengan elit PKS dalam melakukan kejahatan korupsi. Tempo menulis “adalah Yudi Setiawan, sang pembocor. Ia tersangka kasus pengadaan alat peraga pendidikan di kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, yang kini mendekam di LP Teluk Dalam, Banjarmasin. Jauh sebelum terungkap, Yudi membobol banyak proyek pemerintah, ditengarai dengan bantuan Fathanah,” stop di situ, dan kita liat, bahwa dalam paragraf itu Tempo  mengatakan bahwa sebelum ditangkap Yudi membobol banyak proyek pemerintah, ditengarai dengan bantuan Fathanah dan Luthfi. Entah kenapa tiba-tiba Tempo sangat percaya dengan kesaksian penjahat bernama Yudi Setiawan ini, padahal di awal Tempo menulis berbagai kejahatan seorang Yudi ini. Mungkin karena kesaksiannya menyerang PKS, boleh saja dipercaya.

Jika kita sandingkan antara opini dengan rubrik “laporan utama” Tempo yang berjudul “Dana Hitam Partai Putih” sebagai ulasan lengkapnya. Di sana tertulis berdasarkan kesaksian Yudi, ia mengenal Luhfi pertama kali tanggal 16 Juni 2012  dikenalkan oleh Fathonah. (wawancara Tempo halaman 45). Lalu berdasarkan ulasan di majalah itu hal 36 tertulis bahwa pada pertemuan kedua tanggal 29 Juni 2012, Luthfi menurut Yudi sudah berani membicarakan sejumlah proyek yang bisa digarap Yudi. Bahkan sudah berani buka-buka urusan target pengumpulan dana pemenangan pemilu 2014 yang disebutkannya berjumlah Rp 2 triliun.

Dikatakan Yudi, bahwa diskusi mengenai pencarian dana target Rp 2 triliun itu kemudian diterangkan pada papan tulis samping meja rapat. Sebelum pertemuan rapat selesai seorang karyawan Yudi memotret papan itu untuk dokumentasi notulen rapat. Sampai di sini terlihat Tempo di atas angin karena seolah memiliki fakta otentik tentang upaya pencarian dana PKS itu. Padahal kalau dipikir secara mendalam, apakah PKS sebodoh itu, membuka rahasia pencarian dana kepada orang yang baru dikenal? Untuk urusan penempatan pejabat strukutral di partai saja, PKS termasuk partai yang sangat hati-hati. Di sana ada alur yang jelas dan rigid. Penjenjangan karir kader harus dijalankan dari bawah hingga  tingkat atas. Apalagi untuk urusan dapur macam pencarian dana yang dikatakan Tempo berasal dari dana haram yang diambil dari beberapa kementerian yang dipimpin oleh elit PKS itu. Sebodoh itukah partai yang terbiasa bergerak underground sejak jaman orde baru itu? Dan yang lebih aneh lagi di halaman 40, majalah Tempo menulis Yudi sudah menjadi buruan polisi berbagai daerah sejak 2011.  Tempo menulis “adapun Yudi, simpul utama dalam kasus pembobolan Bank Jatim, sudah menjadi buruan polisi berbagai daerah sejak 2011. Soalnya pria kelahiran Surabaya 35 tahun lalu itu merupakan tersangka dalam belasan kasus korupsi di berbagai kabupaten di Jawa dan luar jawa. Di Kepolisian daerah Metro jaya, Yudi juga menjadi tersangka kasus narkotik,” aneh, kok buronan bisa berkeliaran bebas?

Lagi pula, argumen Tempo untuk mengaitkan Yudi Setiawan dengan beberapa elit PKS yang disebutkannya seperti Luthfi dan Anis Matta dalam masalah uang, sangat lemah. Karena dalam rubrik “Laporan Utama”  hanya disebutkan permintaan dana dari (katanya) elit PKS selalu melalui Fathanah. Seperti pada halaman 36 tertulis: “Permintaan mulai datang dari Luthfi melalui Fathanah. Pada  7 Juli 2012, Fathanah mengaku diperintah Luthfi meminta uang tunai Rp 250 juta. Luthfi juga pernah meminta Rp 1,45 milyar untuk keperluan partai. Sebagian besar uang itu diterima Fathanah,”

Kemudian di halaman 37 di rubrik “laporan Utama” juga demikian.  Tempo menulis “Dalam catatan keuangan Yudi yang salinannya diperoleh Tempo, tertulis sembilan kali penyerahan uang untuk Anis, yang totalnya Rp 7,077 miliyar. Pemberian selalu dilakukan dengan transfer ke rekening Fathanah,” Jadi seperti di awal, Tempo telah gegabah menyamakan sosok Fathanah yang selalu meminta uang kepada Yudi dengan PKS. Padahal sejak dari Fathanah sendiri mengatakan tak ada keterkaitan antara dirinya dengan PKS.

Tidak sampai di situ, Tempo bergerak dengan serangan lainnya bahkan tak ragu dengan menempatkan diri sebagai hakim yang telah memvonis bahwa PKS dalam hal ini telah benar-benar melakukan korupsi, dan bukan hanya oknumnya saja, tapi sudah melibatkan organisasi partai.

Seperti yang ditulis Tempo: “Keterlibatan Luthfi dan Anis Matta menunjukkan perkara Fathanah bukan sekadar masalah oknum, melainkan organisasi. Kuat dugaan uang itu tak cuma masuk ke kantong pribadi, tapi juga dipakai untuk menggerakkan organisasi,”

Kemudian terlihat pada akhirnya, maksud Tempo mengaitkan kasus ini dengan PKS secara organisatoris pun terungkap pada paragraf selanjutnya. Tempo menulis “Diskusi pembubaran partai yang terbukti melakukan kejahatan korporasi selayaknya dilanjutkan. Meski sulit, gagasan itu bukanlah suatu yang mustahil, setelah dibuktikan di pengadilan, rencana pembubaran partai bisa diajukan ke mahkamah Konstitusi,”

Luar biasa Tempo ini, kita lihat alur berpikirnya dimulai dari menyamakan perilaku Fathanah dalam perkara percobaan penyuapan dan asusila dengan PKS. Kemudian mengaitkan tuduhan yang masih perlu bukti itu dengan kejahatan yang melibatkan organisasi. Kemudian  ditutup dengan usulan untuk melakukan pembubaran PKS. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa rubrik opini ini penuh dengan serangan terhadap PKS sejak dari awal hingga akhir.

Kita pun paham bahwa semua media massa pasti memiliki pendapat terhadap suatu kasus yang ditempatkan di satu rubrik. Banyak sebutannya untuk rubrik itu, seperti “tajuk utama”, “gagasan”, “editorial, “opini”, dan sebagainya. Rubrik seperti opini dalam majalah Tempo ini   disajikan sebagai sebuah pendapat media, bukan sebagai berita yang berdasarkan fakta. Oleh karena itu tak seharusnya pendapat itu disikapi sebagai sebuah berita. Begitu juga, media tak perlu merekayasa sebuah rubrik opini sebagai suatu yang berlandaskan fakta dan akhirnya menipu publik.

Setidaknya kita harus memahami, rubrik opini bukanlah dibangun atas dasar fakta yang layak dipercaya. Selain itu,  dengan melihat opini tempo dari awal hingga akhir, sebenarnya kita bisa memahami bahwa pemberitaan tendensius dan berat sebelah sudah pasti jauh dari unsur objektivitas dalam menyajikan berita. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/24/33756/mengkritisi-opini-majalah-tempo-edisi-20-26-mei-2013/#ixzz2UBs8JFok

Media Memanfaatkan Kemalasan Kita dalam Membaca

 


Telah sering kita dengar tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Banyak penelitian-peneilitian yang membuktikan hal ini, salah satunya data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%.

Ada hal yang kemudian menjadi tidak singkron ketika minat baca dihubungankan dengan masih tingginya buta huruf di Indonesia. Pada kenyataannya bahwa buta huruf tetaplah masih lebih sedikit daripada yang bisa membaca, tapi kemudian apakah mereka memiliki kemauan untuk membaca? Tak memiliki kemauan dalam membaca bisa diartikan sebagai bentuk kemalasan dalam hal ini. Kemalasan-kemalasan yang tak bermanfaat tapi justru sangat nikmat untuk dinikmati.

Kemalasan dalam hal ini tidak hanya menimpa masyarakat biasa, tapi juga aktivis dakwah yang katanya di isi oleh orang-orang terpelajar. Kebiasaan yang semakin ke sini semakin menurun ditunjukkan dengan semakin menurunnya minta beli buku dikalangan aktivis dakwah sendiri. Mungkin agak sedikit “ngebanyol” jika hal ini dikaitkan dengan banyaknya aktivis dakwah yang awalnya memiliki usaha toko buku menjadi gulung tikar.

Minat baca ini tak harus selalu berkaitan dengan buku. Begitu banyak fasilitas kita untuk bisa membaca, salah satunya adalah media. Media begitu banyak menyajikan berita-berita yang membuka wawasan kita tentang apapun itu dan yang terbuka wawasannya adalah orang-orang yang benar-benar mau membaca isi media tersebut dan tak terpaku pada judul yang diberikannya. Menurunnya minat baca dikalangan aktivis dakwah ternyata memberikan manfaat postif bagi pihak-pihak yang tak menyenangi aktivitas dakwah dan memberikan dampak negatif pada pribadi aktivis dakwah sendiri.

Sampai dengan saat in tidak ada media yang berpihak penuh pada aktivitas dakwah para aktivis, yang ada bahwa media-media saat ini selalu bermain pada kepentingan dan keuntungan, kebenaran adalah hal yang tak lagi menjadi mutlak dalam pemberitaan. Kondisi tak berpihaknya media-media pada aktivitas dakwah membuat media mencoba membuat berita-berita miring yang menjatuhkan aktivitas dakwah dan cara yang paling mudah adalah dengan membuat judul berita yang fenomenal yang bisa jadi tak singkron dengan isi beritanya.

Kenapa kemudian judul saja bisa menjadi hal termudah dalam mengiring opini? Masyarakat hanya membaca judul. Hal inilah kemudian yang menjadi berhubungan dengan sedikitnya minat membaca. Masyarakatpun kemudian mencoba menjadi manusia yang paling pintar berspekulasi dengan membaca judul saja sudah memahami isi berita, padahal kepintaran yang berkedok kemalasan ini adalah awal dari kebodohan-kebodohan yang akan terus berkelanjutan.

Telah banyak media yang melakukan ini terhadap aktivis dakwah untuk menjatuhkan moral aktivis dakwah itu sendiri dan menjatuhkan moral aktivitas dakwah di tengah masyarakat. Munculnya opini-opini nagatif ditengah masyarakat bahkan diantara aktivis dakwah terkait dengan telah membatukarangnya kemalasan-kemalasan dalam membaca dan terlalu cepatnya dalam mengambil kesimpulan dari sebuah judul.

Tak ada salahnya kemudian jika aktivis dakwah mencoba kembali untuk menghidupkan minat baca. Mengubur kembali kemalasan-kemalasan yang berakibat pada mengekornya pada media-media yang kemudian memang tak menyenangi dakwah islam mengukir peradaban. Tak salah jika media memanfaatkan kemalasan ini, selain mendatangkan keuntungan dengan mudah media juga dapat menjalankan kepentingannya tanpa harus merangkai ribuan baris kata kabenaran dalam isi berita.

Haruskah kemalasan ini yang menjadi jalan keruntuhan? Atau kita siap untuk melakukan perubahan sekarang?


Wallahu a'lam
Faguza Abdullah


sumber:http://www.pkssumut.or.id/2013/05/media-sedang-memanfaatkan-kemalasan.html

Karakter Unik Kader PKS




by @alejandro_law17

    1. Saat mantau tweetland, ada yg menarik dr karakter kader & simpatisan PKS secara umum yg nggak dimiliki kader partai lain. karakter unik
    
    2. Taqlid buta. Itu penisbatan u/ kader PKS oleh pihak yg kritis thd PKS atau dari mrk yg emg nggak suka dengan PKS. hater deh istilahnya
    
    3. Benarkah mrk taqlid buta? Masalah jika mrk taqlid buta? nggak masalah. Bahkan stigmatisasi tsb adalah positif untuk kader PKS. JMO
    
    4. Taqlid buta kader PKS adlh bukti bahwa kaderisasi di PKS berjalan dgn baik, terbaik dlm jajaran partai. Bukti solidnya kader partai tsb
    
    5. Fanatisme mrk thd PKS benarnya beralasan. karena mrk mendptkan fakta yg berbeda dr berbagai tuduhan dgn realita sehari2. mengalami sndri
    
    6. Saat hater blg mrk adalah kumpulan org munafik, faktanya nggak. Mrk terstruktur melakukan aksi nyata, bukan omdo/omong kosong
    
    7. Mulai baksos, pengajian maupun aktifitas bermanfaat lainnya kek kemping (mukhoyam), hiking dll sbg pembentukan karakter kader yg kuat.
    
    8. Kaderisasi yg dijalankan secara simultan tlh bnr2 mampu mencetak kader yg tangguh secara mental maupun secara fisik. *opinipribadi
    
    9. Perbedaan yg mrk rasakan antara jadi kader dgn sebelumnya membuat mrk merasa lbh baik. Bukan ngerasa paling bener/plg baek lho! he he
    
    10. Hal itu sendirinya memunculkan sikap kecintaan atau fanatisme tersendiri tanpa dipaksa atau dikomando untuk bersikap fanatis thd partai
    
    11. Fanatism mrk bukan primordialism krn faktanya mrk dtg dr berbagai latar belakang unsur/elemen organisasi. Mrk berbaur jd satu kesatuan
    
    12. Kecintaan mrk thd partai terwujud dgn baik. Saat mrk alami futur, mrk nggak akan bnr2 meninggalkn PKS. suatu saat akan balik lg ke PKS
    
    13. Contoh saya pribadi. Dulu aktif. ikut latsar, halaqoh etc. vacuum krn tergoda duniawi dll. Akhirnya balik lagi saat partai terdzalimi
    
    14. Karena hal itu pula mrk yg keluar dr PKS jiwa tarbiyahnya terus melekat. Buktinya sikiiiit bgt org yg loncat pagar ke partai lain.
    
    15. Bahkan mrk yg dulu di PKS. Mrk terus pantau perkembangan PKS, mengkritiknya meski dgn kalimat sarkasme yg tegas dan menyakitkan
    
    16. IMHO itu adalah wujud kecintaan mrk thd PKS yg melahirkn mrk, yg memberikan mrk ruh & idelogi dalam berpolitik
    
    17. Perhatiin deh! Ada nggak mantan kader PKS yg komentari partai lain? nggak ada. Bahkan yg pindah partaipun mrk ttp kritis thd PKS
    
    18. Mantan kader yg saya maksud tentunya mrk yg berpengaruh, sesepuh. Mungkin karena kecintaan mrk thd PKS mbuat mrk enggan di partai lain
    
    19. Eh iya. Semua yg sy bicarakan hanya dlm konteks politik lho! Jgn slh paham seolah kader PKS mengagamakan PKS. tentu nggak sama sekali!
    
    20. Balik ke mslh taqlid buta. Sy yakin kaderisasi PKS nggak pernah ajarkan untuk berbuat taqlid buta. Nggak ada deh doktrin kek gitu
    
    21. Filosofi shalat berjamaah nih. Makmum nggak pernah diajarin untuk diem saat imam salah gerakan, salah bacaan atau kesalahan lain.
    
    22. Makmum akan menegur imam dgn berucap subhanalloh atau bertepuk u/ akhwat jika TERBUKTI imam telah salah dalam memimpin shalat.
    
    23. Jika imam batal, dibelakangnya tlh siap org yg ganti tanpa perlu mekanisme yg ribet. Cukup bbrp langkah dan Imam lamapun tergantikan.
    
    24. Di PKS, anggapan taqlid buta adlh tradisi positif thinking, tsiqoh spanjang tuduhan2 gak bnr2 terbukti. Saat terbukti mrk bersikap lain
    
    25. Pihak lain boleh sebut mrk sbg org2 being brainswashed, taqlid buta atau munafik sekalipun. Toh mencap mrk kayak gitu gratis.
    
    26. Mrk jg nggak mslh dicap gitu. Mrk hanya perlu menyadari bahwa brbagai stigmatisasi adalah obat mujarab biar lebih sehat & lbh berfikir
    
    27. Mrk hanya perlu menyadari bhw mrk berkumpul dgn manusia yg diantara mrk mungkin berbuat salah kayak manusia pada umumnya.
    
    28. Sikap mrk yg difensif saat mrk merasa diserang secara berlebihan bisa dimaklumi karena mrk memang benar2 diisi dgn kecintaan thd PKS
    
    29. analogi; Mrk ibarat sebuah bola sepak. Semakin anda benamkan ke dalam air, maka bola itu akan semakin menolak tekanan yg anda lakukan
    
    30. Bola tsb gak akan berhenti menolak saat anda dorong hingga anda akhirny capek sendiri. Sia2 jika anda dorong bola tsb scara berolebihan
    
    31. Mereka menerima & mendengar kritik, bukan hujatan. Mrk saring kritik, didiskusikan dan jadi sarana untuk mrk berpikir dan bersikap logis
    
    32. Ini sih cmn omongan santai yak! biar anda sikit kenal dgn kader2 PKS. Anda tahu latar belakangnya, Insya Allah anda akan mengerti
    
    33. Jika anda belum tahu ttg PKS, The easiest way to learn them is to love them. bergabung dgn kader PKS misalnya biar ngerti. he he he
    
    34. Jd, Siapapun dgn mudah bisa cabik2 reputasi & nama baik mrk. Tapi siapapun nggak akan bisa mengurai kecintaan dan militansi mrk
    
    35. Apapun sebutan anda thd mereka, taqlid buta, munafik, sapi, bigot atau apapun cacimakinya mrk cuman akan terkekeh ketawa. xixixi
    
    36. Are they being brainwashed? Yess. Mrk taqlid buta? ya may say that wotttt-eper. Tp mrk senang jd PKS meski penuh cacimaki & hujatan.
    
    Content from Twitter

Sikap Resmi PKS Menyikapi Ujian yang Menimpanya

 Kepala Bidang Humas PKS, Mardani Alisera


Ketika sebuah pohon tumbuh semakin tinggi, tentulah angin yang menerpanya semakin kencang. Kekuatan akar yang tumbuh sebagai buah dari kesabaran dalam merawatnya menjadi  kekuatan yang mampu menahan terpaan panas, hujan dan badai.

Demikian pula yang dihadapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kali ini, terpaan badai ujian dan cobaan serasa demikian kuat mengombang-ambingkan pucuk dan dahan, bahkan terasa hingga menusuk ke akar. Pertanyaan datang bertubi-tubi, hinaan menerpa silih berganti, bahkan kasus hukum dan politik telah merambah keranah gosip dan ghibah. Harta, tahta dan wanita jadi senjata guna memutarbalikkan fakta. Asas praduga tak bersalah jadi barang langka, demi untuk memuaskan dahaga para pendusta.

Namun dibalik itu semua, PKS sangat menyadari betapa besar harapan masyarakat terhadap perubahan kearah yang lebih baik. Oleh karena itu PKS berusaha untuk menyikapi ini semua secara arif dan bijaksana.

Kepala Bidang Humas PKS, Mardani Alisera menjelaskan sikap PKS. “PKS tetap berusaha selalu menjadi partai yang lebih baik. Karena itu PKS membuka diri atas masukan, kritik, dan saran dari semua. PKS yakin itu bagian dari rasa cinta dan perhatian,” ujarnya.

“Untuk kasus dana yang mengalir dari AF monggo diusut dan dibuka di pengadilan. PKS mengapresiasi PPATK yang sangat diperlukan bagi terwujudnya transparansi yang jadi dasar Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera,” jelasnya sambil menegaskan bahwa kasus Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq adalah persoalan pribadi yang tak ada kaitannya dengan PKS.

“Untuk kasus Darin, kami berpendapat, monggo dibuktikan, diusut dan diselidiki. Jika terbukti benar terjadi pernikahan, ini sangat tidak biasa dalam rumah tangga kader PKS,” lanjutnya lagi.

Mardani juga menjelaskan tentang pernikahan yang dilakukan oleh kader PKS. Kader PKS telah punya standard yang jelas dalam mencari jodoh, yaitu sholih/ah. Dan lebih dipilih lagi yang sama-sama aktivis dalam dakwah.

“Selalunya pernikahan kami lakukan di antara ikhwan dan akhwat yang satu perjuangan. Karena itu, sekali lagi jika itu benar terjadi maka kami tidak memahami landasan terjadinya pernikahan itu. Doa kami, berita itu tidak benar.”

Pada akhirnya, setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

“Jikapun benar, maka tiap orang mesti bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya,” pungkasnya.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/23/33753/sikap-resmi-pks-menyikapi-ujian-yang-menimpanya/#ixzz2UBGcbe2U

Post Terpopuler

Arsip Blog

Total Tayangan Halaman

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. )|( PKS Bae Kudus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger