Asyik saya memainkan gadget yang belum
sebulan dibelikan oleh ibu, sambil dikerumuni saudara-saudara sebaya
yang sedang berkumpul untuk acara arisan keluarga di rumah saya. Nenek
adalah orang yang dituakan untuk meneruskan tradisi keluarga ini. Isinya
bukan hanya kumpul-kumpul arisan dan makan-makan, tapi ada juga siraman
rohani dari ustadz yang biasanya sengaja diundang. Kali ini yang
seharusnya ngisi adalah Pak De yang juga seorang ustadz di kampungnya.
Dan gadis-gadis itu, biasanya lebih asyik ngobrol sendiri daripada
menyimak ceramah. Saya, mau gak mau harus solider ngikut nimbrung cekikikan. Sementara yang lain, sudah di posisi masing-masing, duduk melingkar sambil nyender, siap menerima santapan ruhani sambil ngemil santapan jasmani.
Tiba-tiba, “Jess…” nenek memanggil. Saya yang sedang asyik di kerumunan gadis-gadis sepupu dan keponakan tidak refleks menengok. Saking asyiknya mainin gadget.
“Uwak Amin mungkin telat, motornya mogok katanya.” nenek melanjutkan pengumuman. Tapi kenapa tadi manggil saya.
“Sudah, kamu buka saja Jess, sekalian kasih kultum.” lanjutnya.
“Hah?” baru sadar kalimat-kalimat itu tertuju ke saya, hampir semua menengok ke arah saya dengan wajah penuh tanya.
“Loh kok saya nek?” protes saya.
Jelas saja saya protes. Kenapa
harus saya? Kan masih ada paman saya, ada adiknya nenek yang juga
pemimpin yayasan pendidikan, atau sepupu saya yang lebih senior dan
jebolan pesantren, atau bapak saya sekalian. Mereka lebih pantas ngomong
di forum ini. Bukan saya.
Saya, baru saja lulus kuliah
kedokteran dan belum punya ijin praktek. Kuliah di universitas negeri,
sempat dua tahun nerusin ke eropa. Dan sekarang lagi ikut apprentice di rumah sakit swasta. Gak ada sedikitpun basic syari’ah formal.
Saya, gadis yang umum banget.
Diantara gadis-gadis saudara sebaya gak ada istimewanya, selain kerudung
yang kelihatan agak berkibar. Pake kerudungpun belum lama, pas kuliah
tingkat tiga dulu, ketika mulai aktif ikut kegiatan tarbiyah di kampus.
Hei, apa ini ada hubungannya
dengan kerudung saya? Ketika baru kenal tarbiyah, kerudung pertama saya
adalah kerudung trendi yang jauh dari level syar’i. Setelah aktif di
kegiatan dakwah kampus setahun, kerudung sayapun pelan tapi pasti
membesar dan sekarang Insya Allah sesuai yang disyariatkan. Kalau
patokan nenek kerudung, itu kerudung tante saya juga besar-besar.
Mungkin bukan itu.
Atau karena saya sering ngobrol
dan diskusi masalah agama dengan nenek. Biasa saya menyampaikan
fakta-fakta medis yang berkaitan dengan agama.
Hmm… atau jangan-jangan ada yang
ngelaporin ke nenek, kalau saya aktif di PKS. Tapi siapa? tak pernah
saya pakai kaos PKS, atau ngomongin PKS di rumah. Satu-satunya logo PKS
ada di stiker do’a bercermin di kamar saya. Asal tahu saja, sejak jaman
orde lama keluarga saya penganut setia partai tertentu. Dan belum ada
seorangpun yang berani coba-coba melawan tradisi ini. Saya,
ngumpet-ngumpet aktif di PKS.
Detik berlalu, saya semakin
panik. Dan dengan satu hembusan nafas sambil mengucap Bismillah, saya
menggeser duduk, keluar dari kerumunan gadis-gadis. Mata-mata itu masih
megikuti saya. Tidak ada yang komen, tidak ada sepatah kata terucap. Ibu
masih sibuk dengan box air minum yang sulit dibuka, belum ngeh apa yang sedang terjadi. Bapak saya memanjangkan lehernya melongok kiri kanan seolah mencari Jess lain di sekitarnya.
Kalau urusannya ngisi materi ke
adik-adik mahasiswi, itu kerjaan saya tiap minggu. Bahkan di Eropa dulu
kegiatan ini tak pernah lepas. Tapi ditengah keluarga sendiri? Duh, saya
betul-betul minder.
Saya dekati tempat duduk nenek
yang masih memegang mic. Berbisik, mendekatkan mulut ke kuping nenek
sambil merajuk protes. Dan nenek dengan tanpa beban menyerahkan mic itu.
“Ayo Jess…” senyum nenek penuh
arti. Matanya bermain riang. Ada kegembiraan disana. Ada ketenangan yang
membuat debar jantung saya mulai terkendali.
Menit pertama gugup. Menit kelima mulai bisa bernafas lega dan bisa mengontrol pitch
kalimat-kalimat. Menit kelima belas, sudah berani menatap mata satu
persatu sodara-sodara yang datang siang itu. Dalam ingatan saya, sekian
puluh pasang mata itu tak ada satupun yang berkedip. Hingga saya sendiri
tidak berani berkedip… Ibu dan bapak saya melongo, ada riak basah di
bola matanya. Akhirnya, setelah 37,5 menit, materi ukhuwah bisa saya
sampaikan lengkap dengan ayat dan hadits penunjang. Pfuih…
“Terima kasih Jess…” itu adalah
kalimat penutup dari nenek. Tidak ada kalimat lain. Masih belum percaya,
mata-mata itu masih memandang saya.
Bubar acara, saya seperti orang
yang berbeda. Gadis-gadis sebaya yang tadi asyik merubungi saya tak ada
satupun yang mendekat. Sayapun kikuk sendiri.
“Masuk Jess… masuk banget
materinya. Bulan depan bisa ngisi lagi nih.” kata salah satu paman saya
sambil menyodorkan piring kue ke depan saya.
“Apaan sih om…” kilah saya, dengan muka sedikit memerah.
“Umi sudah lama tahu, kamu itu
punya sesuatu.” kata nenek masih dengan senyuman seperti tadi. Kami
sekeluarga biasa memanggil dia Umi.
“Aaah umi… Jess malu, gak ada apa-apanya. Masih ada yang lain yang lebih pinter mi.” saya merajuk manja meremas jemari nenek.
“Semua cucu Umi hebat… terutama kamu. Kamu kader PKS juga kan?” lanjut nenek tersenyum sambil merapikan kerudung saya.
Terkesiap, mendengar kata PKS dari mulut nenek. Saya memicingkan mata berharap nenek melanjutkan penjelasan.
“Do’akan nenek panjang umur. 2014 nanti nenek pilih partaimu.” lekat nenek menatap mata saya yang riaknya semakin tebal.
Paman saya yang lainnya datang menghampiri.
“Jess, kalau ada acara PKS undang-undang om ya…” selorohnya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Siap om!!!” menggamit bibir
saya berusaha tersenyum, tapi akhirnya riak-riak itu tak sanggup saya
bendung, mengalir seiring senyuman kerabat yang memandang takzim.
–seperti diceritakan oleh Jessica @pksqatar–
sumber:http://www.kabarpks.com/2013/03/kader-pks-juga.html