Nelayan tradisional Indonesia merupakan tulang punggung pemenuhan pangan dan perekonomian nasional. Bagi nelayan kenaikan harga BBM bersubsidi jelas mempersulit kehidupan mereka, sebab hampir 60% biaya produksi mereka untuk penyediaan BBM.
"Kami menyadari negara terpuruk dalam utang. Namun jawabanya bukan dengan menaikan harga BBM, melainkan: berantas mafia migas, koreksi secara fundamental kesalahan penghitungan harga migas yang berakibat Indonesia dijebak dalam skema harga pasar dan menderita kerugian sangat besar.
Hentikan pula pemborosan dan korupsi program rakyat, termasuk proyek pengadaan 1000 kapal dan revitalisasi tambak Denfarm Pantura Jawa," kata anggota Dewan pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik dalam siaran persnya siang ini.
KNTI menyesalkan seluruh salah urus dan sepak terjang mafia inilah, yang menyebabkan rakyat dipaksa membayar melalui skema utang luar negeri dan penghapusan subsidi BBM. Oleh karenanya KNTI mendesak Presiden SBY membatalkan rencana kenaikkan harga BBM, dengan berbagai pertimbangan.
"Pertimbangan secara Klimatologi, naiknya harga BBM pada semester II 2013 tidak tepat. Sebab, saat ini Indonesia tengah dipengaruhi oleh maiden-julian oscillation dan dipole mode negatif di Samudera Hindia, membuat musim hujan & kemarau makin tidak menentu waktunya. Pada situasi itu, ekonomi nelayan mengalami pelambatan. Secara Ideologis, naiknya harga BBM adalah praktik ketidakadilan dan melanggar konstitusi. Sebab kenyataannya, pemerintah belum pernah sungguh-sungguh menyelenggarakan Sistem Logistik Terpadu untuk nelayan dan petambak. Terbukti selama ini, BBM bersubsidi belum tersalurkan, bantuan modal usaha tidak terselenggara, sistem informasi produksi, pemasaran, hingga perlindungan usaha bagi nelayan dan petambak Indonesia tidak tersedia," papar Riza.
Menurut dia pada kondisi tersebut diatas itu, maka kenaikan BBM akan memicu: naiknya nilai impor pangan perikanan hingga 40%, angka kemiskinan di kampung nelayan bertambah 50%, dan pencurian ikan berpeluang naik 40% dari 2012.[Suara Merdeka]
0 comments:
Posting Komentar