Sekitar pukul 14 Ahad (30/11/13), saya dan beberapa sahabat mengunjungi RS Al-Islam. Rencananya membesuk salah seorang siswa SDIT Insan Teladan yang dirawat di HCU. Karena bukan waktu besuk, security RS hanya memperbolehkan tamu 1 orang saja. Itupun atas izin Allah, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan ayah dari murid SDIT Insan Teladan juga, yang adiknya dirawat di RS yang sama.
Singkat
cerita, saya pun naik ke lantai 3. Selepas mendoakan pasien anak tadi.
Saya beberapa kali mengengok ruang HCU. Saya lihat Syamil itu tengah
diopeni 2 wanita. Kemungkinan besar adalah ibu dan tantenya. Saya tak
sempat masuk. Karena tak ada ayah dan juga tak ada pria di ruangan itu.
Sempat menunggu beberapa saat. Saya kembali lagi. Kondisinya sudah
rapih. Saya dengar sayup-sayup Syamil mengigau. Saya tahu apa yang ia
igaukan. "Ya ... hafalan An-Naba. Lalu loncat ke An-Nazi'aat. Tak utuh
memang. Tapi saya sempat merinding sembari berguman, "SubhanaLlah ...!"
Karena tak ada
ayahnya, saya pun turun. Mengajak kedua ustadz untuk kembali pulang.
Allah menakdirkan lain. Pas di pintu keluar, ayahnya Syamil baru pulang
dari kantin. Sembari menggendong anaknya yang ke-3, saya lihat aura
optimisme di wajahnya. Kami turut mendoakan agar Syamil sembuh sedia
kala.
Namun, usai adzan
Isya, telpon saya berdering. Ada firasat untuk mengangkat langsung,
tanpa tahu siapa yang diujung telepon. Nomornya tak tercatat! Asing
memang! Sambil loncat mengambil sarung siap-siap ke masjid dekat rumah,
saya dikejutkan berita diujung telepon, "Ustadz. Syamil meninggal pas
waktu adzan Isya tadi! Tolong diumumkan di masjid dan minta dipersiapkan
pemakaman!" Saya termangu. "Siaap!" tegas saya. Tak lama lari ke
masjid. Jamaah sudah iqomat. Usai shalat saya berdiri dan mengumumkan
berita duka.
Jenazah pun datang
sekira jam 22.10 malam harinya. Usai dimakamkan, saya dan beberapa
ustadz mendekati sang ayah. Saya berusaha menenangkan. Namun sambil
menahan tangis, sang ayah berujar, "Ustadz ... sebelum wafat, tadi anak
saya menanyakan sandal!"
Semua yang hadir
tersenyum. Rasanya biasa. Namanya juga anak-anak. Namun sang ayah
melanjutkan, "Ia menanyakan sandal yang suka digunakan berjamaah ke
masjid!"
Hati saya bergetar.
Terasa air mata meleleh. Sang ayah menambahkan, "SYamil setiap
mengigau, selalu melantunkan hapalan surat-surat juz 30! Saya gak kuaat
pak ustadz!"
Saya pun
memeluknya. Air mata pun tak kuasa saya tahan. "Subhanallah!", ujar
Ustaz Ja'far Al-Hafizh. "Semoga ini jadi 'ibroh untuk kita semua! Anak
kecil, 7 tahun, kelas 1 SD saja mengigaunya hapalan Al-Qur'an! Mau
wafatnya saja yang ditanyakan sandal yang suka dipake ke masjid!
SubhanaLLah!", pungkas ustadz Ja'far.
Ustadz Agus pun
menimpali, "Ini adalah investasi terbaik antum! Allah lebih sayang pada
Syamil! Tapi jangan putus asa. Allah pun akan menggantikan yang lebih
baik! Aaamiiin"
****
SubhanaLlah! Syamil
menjadi pesan bagi semua guru-guru di SDIT Insan Teladan, ibu kepala
sekolah, ketua Yayasan, pembina Yayasan, juga orangtua dan keluarga
besarnya, bahwa keikhlasan semua pihak dalam mendidik anak telah Allah
buktikan! Tidak perlu oleh alumni, tapi oleh anak kelas 1 yang dahulu
sempat "diteror" saat mendaftar ke SDIT Insan Teladan.
Wahai civita
akademika Insan Teladan. Ini adalah frestasi terbaik antum semua! Syamil
telah mendahului kita! Tapi ia insya Allah berada di surga. Sementara
kita? Dosa kita teramat banyak! Bisa jadi Allah panjangkan umur kita,
supaya ada waktu untuk membersihkan diri! Allah pun sayang kepada kita,
agar lebih giat lagi mendidik anak-anak SDIT Insan Teladan dengan penuh
ketulusan!
Syaamil! Kau
ajarkan kami, tak perlu lama-lama hidup untuk menjadi anak berbakti!
Selamat jalan! Namamu kami catat sebagai alumni pertama SDIT Insan
Teladan! Innaa Lillaahi wa Inaa Ilaihi Raaji'uun ...
Oleh: Nandang Burhanudin
sumber:http://www.islamedia.web.id
0 comments:
Posting Komentar