Kisah Kami Berusaha Menjadi Pembeli dan Penjual Yang Berakhlaq - )|( PKS Bae Kudus
Headlines News :
Home » » Kisah Kami Berusaha Menjadi Pembeli dan Penjual Yang Berakhlaq

Kisah Kami Berusaha Menjadi Pembeli dan Penjual Yang Berakhlaq

Jumat, 03 Mei 2013 | 17.10

 jual beli
Ada banyak hal dalam Islam yang sangat indah dalam berbagai aturannya. Semua diatur hingga semakin teratur, beretika dan beradab. Islam memang sangat sempurna, hanya seringkali umat Islam sendiri yang membuatnya tampak tak indah.

Berbicara masalah jual beli, Islam pun mempunyai adab dalam hal ini. Allah Azzawajallah menyatakan dalam Surat Al Baqarah 275 "... dan Allah telah menghalalkan jual beli..."

Dibolehkannya kita dalam transaksi penjualan dan pembelian dalam Islam, pun terdapat berbagai syarat-syaratnya. Syarat-syarat ini bukan bermaksud untuk menyulitkan, namun menjadikan sebuah rambu-rambu kepada umat Islam agar melakukan transaksi jual beli dengan baik. Agar jangan sampai kita melakukan cara-cara yang bathil dalam melakukan transaksi jual beli.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)

Yang menjadi patokan penting dalam Islam ketika transaksi jual beli tersebut, disamping tidak bertransaksi dengan sesuatu yang haram, tetapi adalah terjadi saling keridha'an ketika bertransaksi. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw.

“Hanyalah jual beli itu (sah) bila saling ridha di antara kalian.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi)

Jadi, jual beli bisa menjadi berkah manakalah penjual serta pembeli merasa ridha, barang yang dijualnya serta barang yang dibelinya. Tidak ada paksaan, apalagi cela.

Rasulullah n melewati tumpukan makanan (yang dijual) lalu beliau masukkan tangannya ke dalamnya maka mendapati tangan beliau basah. Maka beliau mengatakan: “Ada apa ini wahai pemilik makanan ini?” “Terkena hujan, ya Rasulullah,” jawabnya. Beliau mengatakan: “Tidakkah engkau letakkan di bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ath-Thabarani)

Juga dalam hadits berikut:
“Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)

Sangat banyak sekali berbagai dalil mengenai jual beli, namun hal yang menjadikan kita semakin nikmat ketika kita melakukan transaksi jual beli adalah dengan saling memaklumi dan memahami.

Ada banyak para penjual yang ingin mencari untung besar, tetapi juga ada banyak pembeli yang serupa (mencari untung besar). Tak sedikit kasus para pembeli yang berdusta, lalu menaikkan harga jualnya yang tinggi, sehingga meraup untung banyak.

Sama pula dengan pembeli, yang melakukan penawaran pada harga yang serendah-rendahnya agar mendapatkan barang yang lebih murah.

Dua contoh ini menjadikan proses jual beli menjadi saling melakukan perdebatan dalam bertransaksi. Syaikh Sayyid Nada pernah berpesan "Jangan banyak tawar-menawar dan berdebat. Hendaknya mereka saling memaklumi."

Sebuah cerita dari pengalaman (red, penulis) ketika melakukan transaksi jual beli.  Ketika akan membeli sebuah barang yang sekitar seharga Rp 400 ribu, semua orang mengatakan bahwa pada toko tersebut bisa saling mengajukan tawar menawar. Akan tetapi ketika melihat toko tersebut milik seorang muslim, maka kami urungkan untuk berniat menawar.

Karena menurut kami, membeli sesuatu bukan sekedar proses bertransaksi, tetapi ada keberkahan disitu. Diantara beramal dan mengikuti Sunnah Rasul.

Pada saat kami tidak menawar, lalu proses pembayaran. Si penjual mengatakan "Sudah mas saya kasih harga Rp 270 ribu saja." Saat itu kami sedikit kaget, sambil mengatakan "Loh, nggak takut rugi mas?" Si penjual hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Karena si penjual sudah mengatakan hal tersebut, maka kami membayar sesuai dengan perkataan si penjual.

Pada kesempatan lain lagi, kami pernah juga melakukan transaksi jual beli, dengan membeli sebuah barang seharga Rp 300 ribu. Seperti biasanya, kami sekeluarga memang hampir tidak pernah menawar jika membeli sesuatu. Karena kami percaya, dan ridho, jika kami terbohongi maka itu urusan penjual dengan Allah Azzawajalla. Tetapi, lagi-lagi ketika proses pembayaran, si pembeli mengatakan "Bayar Rp 250 ribu saja mas." Kami takut penjual tersebut merugi, maka kami menanyakan "Apa nggak takut rugi bu?" si penjual hanya mengatakan "nggak mas!"
Ketika saya dan istri berbincang mengenai hal tersebut saat dirumah, kami menyadari betul bahwa segala proses itu sudah diatur oleh Allah Azzawajalla, termasuk ketika kita akan membeli, berjalan membeli, saat melihat barang hingga saat proses transaksi pembayaran.

Semua itu telah diatur, semahal apapun sesuatu pasti jika Allah Azzawajalla meridho'i kita memilikinya, maka pasti kita akan memilikinya.

Sama, dengan peristiwa ketiga. Membeli rumah, bukan sebuah proses yang cepat, ada banyak tahapan-tahapan yang kita lalui, dan tentunya biayanya pun tidak sedikit. Rumah seharga Rp 160 juta, kami tidak mempunyai uang sebesar itu. Kecuali hanya bermodal pinjam di salah satu Bank Syari'ah, dan alhamdulillah karena sedikit ada (proses nepotisme) adik yang bekerja disana, sehingga kami sangat terbantu sekali.

Walaupun sudah sangat terbantu oleh adik yang bekerja di salah satu Bank Syari'ah tersebut, ternyata masalah lain timbul. Yaitu karena dana yang turun tidak mencapai Rp 160 Juta. Kami butuh sekitar 10 juta lagi untuk mencukupi membeli rumah tersebut. Saat itu saya dan istri memang ber-azam untuk memiliki rumah tersebut, bukan hanya disamping kami ingin pindah dari Rumah Dinas milik pemerintah, tetapi karena ada yang lebih dari itu.

Rumah tersebut tepat beradapan pada sebuah masjid. Inilah point utama kami, harga Rp 160 juta bagi kami terlalu murah jika dibandingkan dengan lokasi yang begitu sangat kami inginkan tersebut. Hingga akhirnya, tanpa disangka ada bantuan Rp 22 juta yang sampai kepada kami agar bisa membeli rumah tersebut. Dan Alhamdulillah, sudah terbeli.

Lucunya, setelah kami membeli rumah didepan masjid tersebut sekitar Rp 160 juta, tepat disebelah rumah yang kami beli itu juga ternyata dijual, dengan harga Rp 130 juta.
Masya Allah... setiap orang sudah diatur rezekinya oleh Allah SWT. Kami tidak merasa rugi, karena keyakinan kami hanya untuk Allah Azzawajalla.

Ada juga proses transaksi unik ketika saya harus berdebat dengan teman seorang Ikhwah Salafy. Beliau tahu kalau saya aktivitasnya di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Suatu ketika saya membeli beberapa dagangannya, saat beliau menghitung semuanya pas senilai Rp 100 ribu. Lalu beliau mengatakan "Semuanya Rp 80 ribu akhi (sebutan bahasa arab untuk saudara laki-laki)," lalu saya berkata "Antum (kamu), nggak rugi akh?" Beliau bilang "Nggak akh, Insya Allah!" Tetapi saya takut, beliau rugi besar, karena itu saya bilang "Ana (saya) kasih Rp 90 ribu saja akh, diantara harga antum dan sebenarnya, bagaimana?" Hingga beliau tersenyum, dan mengangguk.

Kami tidak ingin mengatakan bahwa cara kami melakukan transaksi jual beli tersebut merupakan yang paling syar'i dan sesuai adab Islam. Tetapi hal yang ingin kami sampaikan dalam tulisan ini adalah, bagaimana kita mampu memaklumi dan menghargai orang lain, sebagaimana ketika kita melakukan transaksi jual beli. Kekuatan persaudaraan Islam, hendaknya jangan sampai kita manfaatkan untuk membuat saudara kita yang lain rugi saat menjual ataupun membeli.

Lebih-lebih, mari kita memulai untuk saling memaklumi dan menghargai, jangan sampai mencela barang dagangan orang atau bahkan menawar dengan sangat rendah yang tidak sesuai pasaran. Sebagaimana penjual juga mestinya tidak melakukan upaya ingin untung besar sehingga harus meninggikan harganya.

Yang kami sering temui, lantaran memang pembeli juga sering melakukan penawaran terendah atau juga sebaliknya penjual melakukan penawaran tertinggi, maka disinilah kita tidak mencapai titik saling percaya. Hingga selalu merasa "harganya mahal nggak yah?"

Sebagai prinsip individu, kami sekeluarga mempunyai prinsip, membeli kalau punya uang dan tidak perlu meminjam barang orang lain hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Jika punya uang, maka beli-lah, jika tak ada uang maka bersabar dan mari bekerja lebih giat lagi.

Salam... Cinta untuk selalu be-Kerja dalam Harmoni Islam yang indah. Tanpa memusuhi walaupun dimusuhi…

Oleh: Abu Jaisy

sumber:http://www.suaranews.com/2013/05/kisah-unik-menjadi-pembeli-dan-penjual.html
Share this article :

0 comments:

Post Terpopuler

Arsip Blog

Total Tayangan Halaman

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. )|( PKS Bae Kudus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger