Beberapa
penulis di Kompasiana pada kanal politik sering menyerang partai Islam
terbesar di Indonesia, yakni PKS. Setuju atau tidak, harus diakui partai
inilah yang paling banyak mendapat dukungan dari pemilihnya yang
merupakan suara mayoritas umat Islam. Haters, pengkritik, pembenci, ini
berdalih apa yang ditulis dan dikomentari merupakan fakta terjadi saat
ini. Walaupun tuduhan bahkan hujatan PKS haters itu dibantah oleh PKS
Lovers namun tetap tidak memuaskan mereka. Bahkan tidak jarang kata-kata
kotor menghiasi sebagian komentatornya.
Yang menarik adalah beberapa diantaranya sering mengatakan
secara eksplisit maupun implisit bahwa PKS itu partai yang menjual
agama. Padahal, mereka seharusnya menyadari bahwa apapun dan
bagaimanapun partai inilah harapan umat Islam, karena misi-misi yang
dibawanya adalah memperjuangkan kepentingan Islam. Dan kenyataan bahwa
pemilih terbesarnya adalah umat Islam, ini tidak terbantahkan.
Nah disinilah awalnya
perlakuan diskriminatif itu mereka lakukan, yakni dengan cara menyerang
Islam melalui PKS. Karena pada kenyataannya bahwa yang menulis tentang
PKS ini terkadang akidahnya tidak jelas, sering mencampuradukkan masalah
iman ke wilayah abu-abu. Sekali lagi penulis menyadari tidak semua
demikian. Namun komen-komen yang tidak konsisten dibeberapa opininya di
Kompasiana dapat sebagai rujukan penulis.
Beberapa hal yang tidak bisa dipungkiri adalah ketika seorang penulis bernama Jack Soetopo
mengatakan bahwa ia alumni Kairo, tapi pemahamannya tentang Islam agak
bisa diktakan kurang dari pemahaman Islam pada umumnya. Apalagi dalam
sebuah tulisannya dia mengatakan bahwa campur tangan Sang Hyang Widhi
dalam masalah kebanjiran di Jakarta, ironis dengan komentar dan
tulisannya yang sering berkoar-koar bahwa ia beragama Islam.
Di satu
sisi dia tidak mengenal PKS, disisi lainnya ia menghujat PKS seperti
calo dan akan membongkar semua kebobrokan yang ada pada partai tersebut
(kita tunggu). Begitu juga pengakuannya menjadi orang yang dekat dengan
Bung Karno, bahkan ketika sekarat ia mengatakan berada disebelah Bapak
Proklamator tersebut. Yang lebih parah lagi dia menghujat PKS itu
partainya tukang kawin, namun ketika ditanyakan apakah ia tahu bahwa
Bung Karno istrinya banyak, ia hanya terdiam saja.
Belum lagi
pengakuannya sebagai mantan tukang becak tamatan SLTP dan bekerja di
luar negeri dan setelah pensiun akan kembali ke Indonesia dan memilih
tempat tinggal di Bali. Namun dibeberapa artikel dia masih menyempatkan
cerita tentang curhatnya dengan sesama tukang becak di Jogja. Hal ini
terlihat tidak konsisten dan terkesan ia seorang fiksianer menurut saya,
mohon koreksi. Beberapa kali komen saya terhadapnya dibelokkan ke topik
lain untuk mengalihkan opini. Itu sah-sah saja walaupun terlihat lari
dari permasalahan.
Penulis lain yang
‘menyerang’ PKS adalah Gatot Swandito (GS). Begitu gencarnya dia
menyerang PKS apalagi akhir-akhir ini sering menggunakan kata-kata akhi,
antum padahal maksudnya mencibir PKS Lovers.
Padahal sejatinya ia
adalah seorang yang anti partai, sebagaimana terbaca dalam tulisannya
yang menggeneralisir semua partai itu sama saja, apalagi PKS yang
membawa ‘label’ islam merupakan suatu yang wajib bukan sunat lagi untuk
diserang habis-habisan. Ketika ia diminta untuk membuat partai baru yang
sesuai dengan keinginannya ia sedikit memprotes kenapa itu harus ia
lakukan. Dan ketika ditanyakan media apa yang harus digunakan untuk
mendukung semua idenya dalam tulisan ia juga belum menjawab.
Ia banyak menulis
tentang ketidakkonsistenan PKS dalam mengambil sebuah keputusan politik
yang menurutnya adalah suatu yang tidak pantas dalam partai yang
menaungi umat islam. Sama dengan JS banyak bantahan juga yang diajukan
kepadanya, namun ia tidak bisa menerimanya sehingga membuatnya jenuh
menulis tentang partai yang fenomenal tersebut. Namun dibalik itu
ternyata ia masih juga menyempatkan menulis tentag PKS (benci atau
cinta?) walaupun tidak secara eksplisit menyebut nama partainya. Hal ini
bisa dilihat dari tulisan-tulisannya di kanal politik dan komentarnya
terhadap parti itu. Sekali lagi itu suatu hal yang sah-sah saja, mohon
koreksi.
Bagaimana dengan Agus
Sutondo (AS)? Mantan napi koruptor ini akhir-akhir ini agak berkurang
tulisannya di Kompasiana, mungkin sibuk pencalegan (lagi) dari partai lamanya
(atau partai baru?) Penulis ini begitu gencarnya menyerang PKS dengan
memberikan beberapa link yang menguatkan tentang tuduhannya tersebut.
Pada suatu saat ketika ditemukan kenyataan bahwa keterlibatannya
terhadap tindak pidana korupsi, semua itu dibantahnya bahkan mengatakan
ia bersama rekan-rekannya telah mendapat putusan bebas dari MA dan nama
baiknya harus dipulihkan kembali. Ketika ditanyakan putusan MA tersebut
atau link yang menganulir putusan Pengadilan yang meutuskannya bersalah,
ia belum dapat memberikan jawaban.
Setidaknya itu yang saya ikuti
sampai saat ini, mohon koreksi jika saya keliru.
Mengapa AS begitu
bencinya dengan PKS tidak terlepas dari background platform partainya
yang berbeda. Apalagi di Pilkada Jabar dan Sumut partainya mengajukan
gugatan ke MK terhadap kekalahannya yang beruntun di dua Provinsi
terbesar di Indonesia tersebut. Sehingga wajarlah dengan kebebasan
menulis di Kompasiana ia dapat menumpahkan segala kekesalannya terhadap
partai tersebut untuk diketahui para Kompasianer. Terlebih lagi di Depok
tempatnya terpilih sebagai anggota Dewan dinahkodai oleh seorang
Walikota dari Kader partai yang dibencinya.
Sekali lagi saya tidak
membatasi perjuangan umat Islam itu hanya lewat partai politik, tapi
bisa saja dengan ‘kendaraan’ lain seperti ; ormas, media, yayasan,
ponpes, dan sebagainya. Kepada Islamlah kita harus fanatik, bukan kepada
kendaraanya. Karena kendaran bisa saja keliru namun Islam adalah sebuah
kebenaran.
Sekedar catatan
tambahan bahwa beberapa penulis yang mengkritisi PKS telah banyak
menyumbangkan ide, kritikan, opininya di Kompasiana. Begitu banyak
tulisan-tulisan mereka sehingga setiap ada kejadian aktual selalu
menginspirasikannya untuk menulis. Memang begitulah seharusnya pemikiran
seorang yang masih menjunjung tinggi idealisme, walaupun ketika
menghadapi kenyataan di lapangan terkadang harus berfikir dua kali
untuk mengaplikasikan keidealismeannya, karena penonton sepak bola tidak
sama dengan pemain bola itu sendiri.
Dibalik banyaknya
tulisan-tulisan mereka ketika dihadapi sebuah kenyataan bahwa mereka
harus menulis tentang hal yang ‘negatif’ tentang PKS maka akan banyak
mendapat bantahan dari PKS Lovers baik dari yang awam maupun yang paham
‘isi’ partai tersebut. Sehingga terkadang dalam komen-komen mereka
terlihat adanya keputusasaan dalam menghadapi bantahan-bantahan atas
tulisan pendiskreditannya terhadap PKS.
Sementara di era Kompasiana
sebelumnya kebiasaan tulisan seseorang akan mendapatkan dukungan
komentar dari para Kompasianer, bahkan tidak sedikit yang memberikan
sanjugan yang berlebihan. Tapi beda halnya ketika PKS yang dijadikan
bahan tulisan apalagi berniat menyerang dengan cara-cara yang kurang
etis, maka para ‘bodyguard’ PKS akan turun tangan membela sesuai
kapasitasnya.
Itulah konsekwensi Membangunkan Macan Tidur.
sumber:http://politik.kompasiana.com/2013/04/24/membongkar-pks-heaters--554021.html
0 comments:
Posting Komentar